Friday, 14 August 2015

PERAN KYAI DALAM MENUMBUHKAN SIKAP MANDIRI PADA SANTRI DI PONDOK PESANTREN AL-MAWADDAH HONGGOSOCO JEKULO KUDUS



PERAN KYAI DALAM MENUMBUHKAN SIKAP MANDIRI PADA SANTRI DI PONDOK PESANTREN AL-MAWADDAH HONGGOSOCO JEKULO KUDUS





TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Dua (S.2)
Dalam Ilmu Manajemen Bimbingan dan Konseling

Oleh :
M. Syaiful Anam
NIM. 14071


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
PASCA SARJANA MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
2015
 


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah Negara yang bermartabat, Negara yang menjunjung tinggi pancasila dan UUD 1945. Indonesia mayoritas masyarakatnya religious khususnya Agama Islam, sehingga agama dipandang sebagai sebuah kebutuhan yang sangat berarti. Oleh karena itu sangatlah wajar apabila penanaman nilai-nilai keagamaan melalui pendidikan agama Islam sangat diperhatikan oleh pemerintah.
Agama mempunyai peran yang sangat penting baik di lingkungan masyarakat, lembaga pendidikan,  budaya dan lainnya, salah satu prinsip teori fungsional menyatakan bahwa segala sesuatu yang tidak berfungsi akan lenyap dengan sendirinya karena sejak dahulu hingga sekarang agama selalu menyatakan eksistensinya.
Berbicara mengenai lembaga pendidikan, lembaga pendidikan adalah tempat dimana seseorang memperoleh pendidikan. lembaga pendidikan meliputi: formal, informal dan nion formal, lembaga pendidikan formal pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat dan sifatnya berjenjang sesuai dengan kurikulum pendidikan yang berlaku misalnya seperti sekolahan. pendidikan informal adalah pendidikan yang bersumber dari keluarga, sedangkan pendidikan non formal adalah pendidikan tentang kecakapan hidup, ketrampilan dan kecakapan kerja, misalnya lembaga pelatihan kerja, kursus dan lain-lain.
Pendidikan mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pembangunan suatu bangsa. Berbagai kajian di banyak negara menunjukkan kuatnya hubungan antara pendidikan (sebagai sarana pengembangan sumber daya manusia) dengan perkembangan bangsa-bangsa tersebut yang ditunjukkan oleh indikator ekonomi dan sosial budaya. Pendidikan yang mampu memfasilitasi perubahan adalah pendidikan yang merata, bermutu dan relevan dengan kebutuhan masyarakatnya.[1]
Pada Pesantren Al Mawaddah misalnya, Pondok Pesantren Al Mawaddah merupakan sebuah pondok yang berbasis tidak hanya keagamaan akan tetapi juga enterprenership dan juga membekali santri dengan berbagai keahlian yang intinya adalah mencetak santri yang mandiri. Santri disana terdiri dari mahasiswa di perguruan tinggi Islam dan dari sekolah menengah maupun yang tidak bersekolah. Kurang percaya diri dan kekhawatiran  pada santri tentang realita yang kebanyakan para santri tidak mempunya skill ataupun keahlian untuk berwirausaha/mandiri, dan itu menjadi kecemasan juga pada kyai karna tugas kyai adalah membantu dan menuntun para santri agar dapat mengenal dirinya dan agar lebih bisa bersikap mandiri, dan diharapkan mampu membatasi perilaku yang kurang baik pada anak. hal ini sangat relevan, jika dilihat dari perumusan pendidikan yang merupakan usaha yang bertujuan mengembangkan kepribadian dan potensi-potensinya (bakat, minat, kemampuan)[2].
Maka dari itu pihak pengurus pondok melakukan upaya untuk menanggulangi hal tersebut, akhirnya di adakan program atau kegiatan entrepreneur yang bertujuan untuk melatih para santri agar nantinya setelah lulus dari pondok agar mampu bersaing ditengah-tengah masyarakat.
Kegiatan belajar mengajar menjadi tanggung jawab antara guru/kyai dan murid/santri. Guru/kyai dalam melakukan pembelajaran hendaknya tidak hanya melakukan kegiatan belajar mengajar saja, akan tetapi melakukan pendekatan dan memahami karakteristik siswa/santri serta memberi motivasi belajar pada santri agar nantinya santri setelah lulus dari lembaga pondok pesantren menjadi lulusan yang siap terjun ke masyarakat.
Berdasarkan dari latar belakang masalah diatas, maka peneliti berkeinginan untuk meneliti lebih jauh tentang “Peran Kyai dalam Menumbuhkan Sikap Mandiri Pada Santri Di Pondok Pesantren Al-Mawaddah Honggosoco Jekulo Kudus”.

B.     Penegasan Istilah
Apabila lembaga pendidikan tidak mampu untuk mengikuti arus perkembangan zaman atau tidak mampu untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, akan cenderung menurunkan minat masyarakat untuk menyekolahkan anaknya di lembaga pendidikan tersebut. Demikian halnya pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan agama di Indonesia juga harus mampu mengikuti perkembangan zaman ilmu pengetahuan dan teknologi, tapi kegiatan itu tidak bisa terlepas dari ajaran agama Islam.
Agar tidak terjadi perbedaan penafsiran maupun persepsi atas judul tersebut, maka ada beberapa istilah yang sekiranya perlu penegasan dan pembatasan lebih lanjut diantaranya:

1.    Pengertian kyai
            Kyai adalah pimpinan di pondok pesantren adaalah kyai. Kyai adalah tokoh karismatik yang diyakini memiliki pengetahuan agama yang luas sebagai pemimpin sekaligus pemilik pondok pesantren.

2.    Mandiri
            Mandiri dapat ditinjau dari dua segi, yaitu pengertian secara etimologi (bahasa) dan pengertian secara terminologi (istilah). Kamus Besar Bahasa Indonesia mengungkapkan kata "mandiri" diartikan dapat berdiri sendiri tanpa bantuan oranglain.
Sedangkan mandiri secara istilah diartikan menurut beberapa ahli antara lain : J.L.G.M. Drost S.J, menyatakan bahwa kemandirian adalah keadaan kesempurnaan dan keutuhan kedua unsur (budi dan badan) dalam kesatuan pribadi. Dengan kata lain, manusia mandiri adalah pribadi dewasa yang sempurna. Pada dasarnya pengertian mandiri itu dapat ditinjau dari dua segi, yaitu pengertian secara etimologi (bahasa) dan pengertian secara terminologi (istilah).
Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia kata "mandiri" mempunyai arti keadaan dapat berdiri sendiri, tidak bergantung pada orang lain.
Sedangkan pengertian mandiri secara istilah diartikan oleh beberapa ahli antara lain : J.L.G.M. Drost S.J, menyatakan bahwa kemandirian adalah keadaan kesempurnaan dan keutuhan kedua unsur (budi dan badan) dalam kesatuan pribadi. Dengan kata lain, manusia mandiri adalah pribadi dewasa yang sempurna.[3]
3.    Pesantren
Pesantren berasal dari kata santri yang diimbuhi awalan pe- dan akhiran -an yang berarti menunjukkan tempat, maka artinya adalah tempat para santri. Pesantren juga berasal dari bahasa Tamil yang artinya guru mengaji atau dari bahasa India “sastri” dan “sastra” yang berarti buku-buku agama atau ilmu tentang ilmu pengetahuan.[4]
Secara terminologis, Mastuhu mengartikan pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari.[5]

C.    Fokus Penelitian
Fokus dalam penelitian ini adalah Peran Kyai Dalam Menumbuhkan Sikap Mandiri Pada Santri. Dalam hal ini yang menjadi objek penelitian adalah santri di Pondok Pesantren al-Mawaddah Honggosoco Jekulo Kudus.
Pondok Pesantren al-Mawaddah Honggosoco Jekulo Kudus merupakan pesantren yang menggunakan pembelajaran sistem modern, karena menurut survei yang telah dilakukan penulis, banyak pesantren yang hanya memberikan ilmu-ilmu agama saja saja. Hal ini jelas berbeda dengan pendidikan yang ada di Pondok Pesantren al-Mawaddah Honggosoco Jekulo Kudus, karena pendidikan yang diberikan tidak hanya berbentuk ilmu agama tetapi juga diberi ilmu berwirausaha agar nantinya santri bisa mandiri.
Melatih sikap mandiri para santri diberi pelatihan wirausaha yang ada Pondok Pesantren al-Mawaddah Honggosoco Jekulo Kudus seperti perkebunan, pertanian dan segala macam kebutuhan-kebutuhan lain. Hal ini membuktikan bahwa modernisasi pesantren telah terlaksana dengan baik. Sedangkan spiritual pesantren, di samping dzikir-dzikir yang diterapkan Pondok Pesantren al-Mawaddah Honggosoco Jekulo Kudus juga memberikan pelatihan Islami, yang menekankan pada kecerdasan spiritual. Yang pada hakikatnya pengajaran hendaknya menanamkan ke dalam jiwa anak didik kesadaran akan hadirnya Tuhan dalam hidup, dan Tuhan akan selalu mengawasi segala tingkah laku manusia (human actions).
D.    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis dapat merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.      Bagaimanakah Peran Kyai dalam Menumbuhkan Sikap Mandiri Pada Santri di Pondok Pesantren al-Mawaddah Honggosoco Jekulo Kudus?
2.      Apa yang melatarbelakangi Kyai dalam Menumbuhkan Sikap Mandiri Pada Santri di Pondok Pesantren al-Mawaddah Honggosoco Jekulo Kudus?
3.      Apa kendala yang dihadapi Kyai dalam Menumbuhkan Sikap Mandiri Pada Santri di Pondok Pesantren al-Mawaddah Honggosoco Jekulo Kudus?
E.     Tujuan Penelitian
Suatu penelitian harus mempunyai tujuan yang jelas, sehingga dengan adanya tujuan tersebuut dapat dicapai solusi atas masalah yang dihadapi, maupun untuk memenuhi kebutuhan perseorangan. Berdasarkan masalah di atas, maka penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui Peran Kyai Dalam Menumbuhkan Sikap Mandiri Pada Santri di Pondok Pesantren al-Mawaddah Honggosoco Jekulo Kudus
2.      Untuk mengetahui apa yang melatarbelakangi Kyai Dalam Menumbuhkan Sikap Mandiri Pada Santri di Pondok Pesantren al-Mawaddah Honggosoco Jekulo Kudus
3.      Untuk mengetahui pesan dakwah yang terkandung dalam kegiatan entrepreneurship di Pondok Pesantren al-Mawaddah Honggosoco Jekulo Kudus.
F.     Manfaat Penelitian
Nilai suatu penelitian ditentukan oleh besarnya manfaat yang dapat di ambil dari penelitian tersebut. Adapun manfaat yang diharapkan penulis dari penelitian ini antara lain:

1.      Manfaat teoritis
Untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu Managemen Pendidikan Islam pada umumnya, khususnya Managemen Bimbingan dan Konseling mengenai Peran Kyai Dalam Menumbuhkan Sikap Mandiri Pada Santri di Pondok Pesantren al-Mawaddah Honggosoco Jekulo Kudus
2.      Manfaat praktis
a.       Bagi Guru/kyai, dapat menambah keterampilan tentang trik-trik yang menarik dan memikat santri/murid.
b.      Untuk menambah pengetahuan tentang faktor-faktor pendukung dalam kegiatan mengajar.
G.    Sistematika Penulisan
Dalam upaya untuk mempermudah penulisan penelitian dapat dipahami dengan mudah oleh pembaca, maka penyusunan ini dibagi menjadi beberapa bab dan setiap bab memuat sub bab, dimana antara sub bab yang sains dengan lainnya memiliki keterkaitan. Adapun sistematika penulisan adalah sebagai berikut:
1.      Bagian muka
Pada bagian ini terdiri dari halaman judul, halaman nota persetujuan pembimbing, halaman pengesahan, halaman motto, halaman pengantar dan halaman daftar isi.
2.      Bagian isi
Bab pertama, yaitu pendahuluan. Pada bab ini berisi tentang latar belakang masalah, penegasan judul, fokus penelitian, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab kedua, yaitu kajian pustaka. Pada bab ini akan di bahas mengenai: pertama, Pengertian Kyai, dan teori-teori tentang pondok pesantren, kedua, penelitian terdahulu dan ketiga kerangka berfikir.
Bab ketiga, metode penelitian. Pada bab ini akan di bahas metode penelitian yang meliputi: jenis penelitian, pendekatan penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data, uji kredibilitas data, serta analisa data.
4.                        Bab empat, hasil penelitian/pembahasan. Berisi, pertama berisi gambaran umum Pondok Pesantren al-Mawaddah Honggosoco Jekulo Kudus. Kedua, data penelitian, berisi data tentang bentuk pelatihan kemandirian di Pondok Pesantren al-Mawaddah Honggosoco Jekulo Kudus, dan data tentang kendala yang dihadapi dalam penerapan pelatihan kemandirian di Pondok Pesantren al-Mawaddah Honggosoco Jekulo Kudus. Ketiga, Analisis data/pembahasan, berisi analisis data tentang bentuk pelatihan kemandirian di Pondok Pesantren al-Mawaddah Honggosoco Jekulo Kudus.
5.                        Bab lima, penutup. Bab ini berisi kesimpulan dari seluruh pembahasan yang sudah dipaparkan dan saran yang berhubungan dengan pembahasan secara keseluruhan.

3.      Bagian akhir
Bagian akhir ini terdiri dari daftar pustaka, daftar riwayat pendidikan dan lampiran.


BAB II
KAJIAN PUSTAKA
           
A.      Deskripsi Teori
1.         Kyai
Sebutan kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa, di Jawa kata “kyai” dipakai pada tiga jenis gelar yang berbeda yakni: sebagai sebutan kehornatan agung, keramat, dan dituahkan, gelar kehormatan bagi laki-laki yang sudah berumur, bijaksana, dan menjadi panutan masyarakat, gelar kehormatan yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang yang mempunyai ilmu agama yang tinggi dan membaktikan dirinya dijalan Allah SWT, bisa juga menjadi pendiri, pengasuh di sebuah pondok pesantren.[1]
Pada jaman dahulu gelar kyai hanya patut diberikan kepada orang yang mendirikan sekaligus mengasuh pondok pesantren, tapi sekarang gelar kyai diberikan kepada orang-orang yang menguasai ilmu Agama Islam dan  dan memberikan pengaruh pada masyarakat.[2]
Dalam masyarakat tradisional seseorang berhak menyandang gelar kyai, karena banyak orang yang minta nasehat kepadanya, atau mengirimkan anaknya untuk belajar kepadanya. Tokoh kyai adalah pemimpin atau tokoh sentral yang mengatur berjalannya lembaga pendidikan pondok pesantren. Dalam kedudukan pesantren peran kyai sangat penting bergantung pada kepribadian dan suri tauladan dan kebijaksanaan dari sang kyai.
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan  bahwa kyai adalah gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang laki-laki yang sudah tua, dan mempunyai pengetahuan ilmu Agama Islam yang tinggi, dan dapat member suri tauladan bagi masyarakat. Kemajuan dan keberhasilan pondok pesantren bergantung dari sosok kyainya, karena sosok kyai sebagai pemangku tertinggi di pondok pesantren tersebut.
2.         Mandiri
a.      Pengertian Mandiri
Pada dasarnya pengertian mandiri itu dapat ditinjau dari dua segi, yaitu pengertian secara etimologi (bahasa) dan pengertian secara terminologi (istilah).
Menurut Enung Fatimah mandiri adalah berdiri dengan kemampuan sendiri dan tidak bergantung pada oranglain serta bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya.[3]
Sedangkan menurut Zakiyah Daradjat, defenisi mandiri adalah: melakukan suatu hal tanpa minta tolong kepada oranglain, dan juga mengukur dan mengarahkan kemampuannya tanpa tunduk pada oranglain. Biasanya anak yang mandiri lebih mampu memikul tanggung jawab, dan pada umumnya tingkat emosinya stabil.[4]
Dari pengertian diatas maka penulis mendefinisikan mandiri adalah kemampuan seseorang dalam melakukan sesuatu tanpa minta bantuan oranglain, dan mapu bertanggung jawab pada apa yang dilakukannya.

b.      Ciri-ciri Kemandirian.
Ciri-ciri kemandirian pada dasarnya sangat luas dan tingkat kemandiriannya pun sangat beragam pada tingkatan usia. Dalam hal ini banyak ahli yang menjabarkan ciri-ciri tersebut.
Menurut Beller dikutip Dra. Muntholi’ah, M.Pd, ciri-ciri kemandirian meliputi:
1.      Mempunyai inisiatif
2.      Mengatasi kesulitan yang datang dari lingkungan
3.      Mencoba melakukan aktifitas untuk mencari kesempurnaan
4.      Mendapatkan kepuasan dari hasil kerjanya
5.      Mencoba mengerjakan tugas rutinnya secara mandiri.[5]

Sedangkan menurut Gilmore dikutip dari Chabib Toha merumuskan ciri-ciri kemandirian meliputi:
1.      Ada rasa tanggung jawab
2.      Memiliki pertimbangan dalam menilai problema yang dihadapi secara intelijen
3.      Adanya perasaan aman bila berbeda pendapat dengan orang lain
4.      Adanya sikap kreatif sehingga menghasilkan ide yang berguna.[6]

Menurut Dra. Muntholi’ah, M.Pd. ciri-ciri mandiri sebagai berikut:
1.      Mampu berfikir kritis, kreatif, dan Inovatif
2.      Tidak mudah terpengaruh oleh pendapat orang lain
3.      Tidak lari atau menghindar dari masalah
4.      Memecahkan masalah dengan berfikir yang mendalam
5.      Apabila menjumpai masalah diselesaikan sendiri tanpa bantuan orang lain
6.      Tidak merasa rendah diri bila berbeda pendapat dengan orang lain
7.      Berusaha bekerja dengan penuh ketekunan dan disiplin
8.      Bertanggung jawab atas tindakannya sendiri.[7]

Berdasarkan uraian diatas, Kemandirian diwujudkan dengan adanya mempunyai kemapuan inisiatif dan kebebasan bertindak pada apa yang akan dilakukan, berusaha keras dalam setiap kegiatan dan bertanggung jawab dalam setiap aktivitas.
c.       Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian Anak.
Adapun faktor yang mempengaruhi kemandirian dapat dibedakan menjadi 2, yaitu :
1.      Faktor Internal
Yaitu faktor yang ada dalam diri anak antara lain faktor kemantangan usia dan jenis kelamin serta inteligensinya.[8] Faktor iman dan taqwa merupakan faktor penguat terbentuknya sifat mandiri. Hal ini dapat dilihat dalam ayat Al-Qur'an sebagai berikut :
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ (المدثر: 38

"Tiap-tiap orang bertanggung jawab terhadap segala yang diperbuatnya". (Al-Mudatsir : 38).
 (وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (ال عمران: 139
"Janganlah kamu merasa lemah, dan jangan pula merasa sedih, kamu adalah orang-orang yang paling baik apabila kamu beriman". (Ali-Imran : 139).[17]
2.      Faktor Eksternal
Yaitu faktor yang berasal dari luar diri anak tersebut yang meliputi:
1)      Pembinaan
Setiap manusia.anak pasti ingin mandiri, anak tidak mungkin lansung bisa mandiri tanpa ada bimbingan dan juga arahan dari orangtuanya.
2)      Pembiasaan dan Pemberian Kesempatan
Pendidikan hendaknya menyadari bahwa dalam memberikan pelatihan, membina dan memberikan pengarahan pada pribadi anak jangan hanya sebatas coba-coba dalam artian Cuma sekali, karena pembiasan dan latihan secara rutin dan terus menerus akan memberikan dampak yang baik pada anak  dan akhirnya akan melekat pada pribadi anak. Dalam pembiasaan itu dapat dilakukan dengan :


a.      Teladan
Dengan teladan maka akan timbul gejala identifikasi positif, yaitu penyamaan diri dengan orang yang ditiru.[9]
b.      Anjuran, Suruhan dan Perintah
Anjuran, suruhan dan perintah adalah hal yang meski digunakan, karena akan memberikan dampak yang baik pada anak.
c.       Latihan
Bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan melatih anak.[10]
d.      Pujian
Bertujuan agar anak merasa senag dan memberikan imbalan atas apa yang telah diraihnya.[11]
e.       Hukuman
Bertujuan untuk memberikan masukan dan arahan bahkan kritikan untuk sebuah kesahanan.[12]

3.      Pondok Pesantren
a.        Pengertian Pondok Pesantren
Secara etimologi, pesantren berasal dari kata “santri” yang mendapat awalan pe- dan akhiran -an yang berarti tempat tinggal santri.[13]
Secara terminologis, Mastuhu mengartikan pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam (tafaqquh fi al-din) dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari.[14]
Menurut Zamahsari Dhofier, ciri khas atau ideologi pendidikan pesantren sangat dipengaruhi oleh ideologi pendiri pesantren tersebut yang berfaham ahlussunnha wal jamaah. Dan dalam kajian hukum-hukum Islam mengacu pada empat madzhab, dan penggunaan Madzhab Syafi’i sangat kentara dalam pesantren hal tersebut dapat dilihat dari kitab-kitab /kurikulum yang digunakan. Hal tersebut tidak bisa lepas dari faktor sejarah penyebaran Islam di Indonesia bahwa para walisongo dalam praktek-praktek keagamaan “ibadah” menggunakan Madhab Syafi’i.[15]
Kemudian dipertegas lagi bahwa pada umumnya para kyai dibesarkan dan dididik dalam lingkungan pesantren yang memegang teguh faham Islam tradisional. Ketegasan para kyai memilih faham Islam tradisional ini secara jelas dapat dibuktikan dari kitab-kitab yang diajarkan dipesantren, hampir semua pondok pesantren yang ada di Jawa merupakan pengikut faham ahlussunnahwaljama’ah dengan bepegang kepada tradisi sebagai berikut:
a)        Dalam bidang hukum-hukum Islam menganut ajaran-ajaran dari salah satu madzhab empat. Dalam praktek, para kyai adalah penganut kuat dari Madzhab Syafi’i.
b)        Dalam soal-soal tauhid, menganut ajaran Imam Abu Hassan dan Imam Abu Mansur al-Maturidi.
c)        Dalam bidang tasawwuf menganut dasar-dasar ajaran Imam Abu Qosim Al-Junaid.[16]
Berkaitan dengan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa pondok pesantren adalah salah satu institusi pendidikan Islam yang digunakan sebagai sarana mendidik para santri dalam belajar agama Islam secara mendalam untuk bekal mereka nantinya agar selamat di dunia dan akhirat.
b.   Komponen-Komponen Pondok Pesantren
Komponen-komponen yang terdapat pada sebuah pesantren pada umumnya terdiri dari : kyai, guru/ustadz, santri dan pengurus. Penjelasan komponen-komponen ini diuraikan lebih lanjut:[17]
a)    Kyai
Pimpinan di pondok pesantren adaalah kyai. Kyai adalah tokoh karismatik yang diyakini memiliki pengetahuan agama yang luas sebagai pemimpin sekaligus pemilik.
b)   Guru atau Ustadz
Guru atau ustadz mempunyai peran strategis dalam pendidikan pesantren. Guru selain sebagai penjaga moral setelah kyai, guru juga dituntut secara intelektual dan terampil dalam mendidik siswa/santri.
c)    Santri
Santri merupakan elemen penting dalam pesantren. Jika didasarkan pada konsep manusia menurut Islam yaitu fitrah, maka pendidikan pesantren dalam memandang santri masuk dalam kategori semua ideology karena santri tetap dipandang mempunyai daya kelebihan dan kelemahan yang perlu diperbaiki dalam pesantren.
d)   Pengurus
Selain ketiga elemen di atas, pengurus juga merupakan elemen krusial dalam pesantren.     








B.     Penelitian Terdahulu
Secara sederhana, pada bagian ini akan dikemukakan beberapa kajian yang akan dilakukan oleh peneliti. Sekaligus akan juga ditunjukkan beberapa perbedaan dan persamaan fokus serta aspek yang akan diteliti antara kajian yang akan dilakukan dengan kajian-kajian terdahulu.
Mohammad Nurul Hamim (Skripsi, 2012), Modernisasi Pendidikan Pesantren (Studi Analisis Pendidikan Islam Berbasis Entrepreneurship, Leadership dan Spiritual di Pondok Pesantren Al-Mawaddah Honggosoco Jekulo – Kudus). Menjelaskan tentang keunikan pendidikan pesantren dari segi modernisasi. Yaitu penerapan pendidikan Islam berbasis Entrepreneurship, Leadership dan Spiritual. Jelas sekali berbeda jauh dengan penelitian yang akan dilakukan walaupun sama-sama Pondok Pesantren al-Mawaddah[18].
M. Syaiful Anam (Skripsi, 2014), Pesan Dakwah dalam Kegiatan Entrepreneurship di Kalangan Santri di Pondok Pesantren Al-Mawaddah Honggosoco Jekulo – Kudus. Menjelaskan tentang bentuk pesan-pesan dakwah yang terkandung dalam kegiatan entrepreneurship dikalangan pesantren.[19]
Mustaqim (Skripsi, 2013), Analisis Entrepreneurship di kalangan santri (Studi Kasus di Pesantren Ma’hadul Ulum As-Syar’iyyah Karangmangu Sarang Rembang). Menjelaskan tentang keunikan pendidikan pesantren dari segi modernisasi. Yaitu penerapan pendidikan Islam berbasis Entrepreneurship, Leadership dan Spiritual jelas sekali berbeda jauh dengan penelitian yang akan dilakukan walaupun sama-sama entrepreneurship dikalangan pesantren, tapi penelitian yang penulis lakukan terfokus pada pesan-pesan dakwah yang terkandung didalamnya.[20]
Kesemua penelitian terdahulu adalah menitik fokuskan di entrepreneur, leadership, spiritual. Tapi disini penulis menitik fokuskan tentang peran kyai dalam menumbuhkan sikap mandiri pada santri, agar nantinya kita semua tahu apa yang melatarbelakangi dan kendala yang dihadapi dalam menumbuhkan sikap mandiri pada santri di Pondok Pesantren al-Mawaddah Honggosoco Jekulo Kudus.
A.  Kerangka Berfikir
Pesantren yang diakui sebagai model pendidikan awal (Islam) di Indonesia sampai saat ini masih eksis dan mampu mempertahankan kredibilitasnya di masyarakat.[21] Meski demikian peran pesantren saat ini boleh dikatakan sangat terbatas karena pengelolaan kurang kredibel dan fasilitas yang dimiliki juga apa adanya. Sistem sorogan, wetonan, dan bandongan menjadi eksistensi pendidikan pesantren.
Di era yang serba canggih ini oleh para pakar dipandang penting bagi calon-calon da’i bisa mandiri dan tidak kalah dengan orang-orang yang bergelar. Dengan dukungan IPTEK era informasi mampu mengubah pola kehidupan dan mempercepat pekerjaan. Kini orang harus siap menghadapi berbagai kemungkinan perubahan pada pekerjaan yang selama ini telah ditekuni. Untuk itu penyesuaian diri terhadap perubahan selalu diperlukan dengan meningkatkan kecakapan yang memadai. Sementara semangat kompertisi yang cenderung individualistik, kini telah bergeser ke arah kolektivistik yang memerlukan kesadaran untuk bekerjasama, saling mengerti dan saling membantu. Dengan demikian perkembangan aspek sosial perlu mendapat perhatian dan pendidikan di samping aspek mental, spiritual, personal, intelektual dan pekerjaan (vocational).
Pengelolaan pesantren yang apa adanya tersebut mudah dilihat dari kurikulum sebagian pesantren yang belum dikembagkan dan disesuaikan dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Sebagai akibatnya para alumni juga sering gagap dalam menghadapi tantangan zaman. Sebagai contoh, tatkala ada sebagian alumni pesantren yang menjadi tokoh masyarakat atau politisi, mereka seakan gagap menghadapi perannya yang baru karena mereka belum atau bahkan tidak mengetahui betul bagaimana “kontruksi politik Islam” dan strategi berpolitik yang disebut sebagai politik tingkat tinggi (high politic). Ini disebabkan karena materi kajian yang diberikan di pesantren kurang dikontekstualisasikan dengan perkembangan zaman.[22] Hal ini sudah dikembangkan dari berbagai aspek, sehingga pesantren tidak lagi kalah bersaing. Upaya-upaya yang dilakukan dalam meningkatkan pesantren berbasis modern sangat kuat.
Misalnya saja Pondok Pesantren al-Mawaddah Honggosoco Jekulo Kudus, melatih kemandirian santri menjadi sorotan pertama. Tujuannya agar santri lebih kreatif dalam menanggapi realita kehidupan. Tidak hanya mementingkan kehidupan akhirat saja, tetapi kehidupan dunia juga dijalankan.
Di pesantren ini para santri tidak hanya di bekali dengan ilmu agama saja, akan tetapi juga di bekali dengan ilmu sosial kemasyarakatan agar nantinya siap terjun di masyarakat mengamalkan apa yang didapatnya di pesantren, meneggakkan amar ma’ruf nahi munkar baik melalui dakwah  yang terorganisir maupun proses internalisasi dalam bidang yang lain. Kegiatan melatih kemandirian pada santri patut menjadi sorotan karena melalui kegiatan ini bukan melulu wirausaha semata. Banyak muatan yang terkandung didalamnya baik dalam segi ekonomi, pendidikan, sosial, politik.










Gambar 2.1.
Kerangka Berfikir
 











                                                                               
                                                                                       


                                                                                                     



[1] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3ES: Jakarta, 1985,  hal. 55
[2] Khozin, Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia  (Malang: UMMPress. 2001) hal. 88
[3] Enung Fatimah, Psikologi Perkembangan: Perkembangan Peserta Didik, Pustaka Setia: Bandung, 2006, hal. 141.
[4] Zakiyah Daradjat, Perawatan Jiwa Untuk Anak, Bulan Bintang :Jakarta, 1976, hal. 130.
[5] Muntoli’ah, Konsep Diri Positif Penunjang Prestasi PAI, Gunung Jati Offset:Semarang, 2002, hal. 54
[6] Chabib Toha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Pustaka Pelajar :Yogyakarta, 1996, hal. 123
[7] Muntholi’ah, M.Pd, op. cit, hal. 57.
[8] H.M. Chabib Thoha, op. cit., hal. 124.
[9] Ahmad Marimba, Pengantar Filsafat Ilmu Pendidikan Islam, Al-Ma’rif :Jakarta, 1980, hal. 85
[10] Ibid., hlm. 86.
[11] Singgih D. Gunarsa, Psikologi Untuk Membimbing, Gunung Mulia:Jakarta, 2007, cet. 11, hal. 137.
[12] Singgih D. Gunarsa, op. cit., hal. 137.
[13]Ahmad Muttohar. AR, Ideologi Pendidikan Pesantren, Pustaka Rizki Putra: Semarang, 2007, hal. 11. 
[14]Syamsul Ma’arif, Pesantren Vs Kapitalisme Sekolah, Need’s Press: Semarang, 2008, hal. 62-63.
[15] Zamahsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai, AP3DS: Jakarta, 1984, hal. 149.
[16]Ibid.,
[17]Ahmad Muttohar. AR, Loc. Cit., hal. 105-107.
[18]Mohammad Nurul Hamim (Skripsi, 2012), Modernisasi Pendidikan Pesantren (Studi Analisis Pendidikan Islam Berbasis Entrepreneurship, Leadership dan Spiritual di Pondok Pesantren Al-Mawaddah Honggosoco Jekulo – Kudus), Perpustakaan STAIN Kudus, 2012, Jurusan Tarbiyah/PAI
[19] M. Syaiful Anam (Skripsi, 2014), Pesan Dakwah dalam Kegiatan Entrepreneurship di Kalangan Santri di Pondok Pesantren al-Mawaddah Honggosoco Jekulo Kudus, Perpustakaan STAIN Kudus, 2014, Jurusan Dakwah/BKI

[20]Mustaqim (Skripsi, 2013), Analisis Entrepreneurship di kalangan santri (Studi Kasus di Pesantren Ma’hadul Ulum As-Syar’iyyah Karangmangu Sarang Rembang), Perpustakaan STAIN Kudus, 2012, Jurusan Syari’ah/EI
[21] Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta :  Paramadina,   1997, hal. Xii.
[22]Moh Roqib, Pendidikan Islam : Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat, PT LKis Printing Cemerlang: Yogyakarta, 2009, hal. 149.

BAB III
METODE PENELITIAN

Penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian kualitatif. Penelitian yang mengambil data dari kunjungan lapangan yang berupa hasil wawancara dengan para narasumber terkait bukanlah berupa hasil analisis data yang berupa angka-angka. Penelitian yang dilakukan akan berusaha membahas tentang peran kyai dalam menumbuhkan sikap mandiri pada santri di Pondok Pesantren al-Mawaddah Honggosoco Jekulo Kudus. Adapaun metode yang penulis pakai yaitu :[1]
A.    Jenis dan Pendekatan Penelitian
Untuk mengetahui peran kyai dalam menumbuhkan sikap mandiri pada santri di Pondok Pesantren al-Mawaddah Honggosoco Jekulo Kudus, harus ditemukan sesuai dengan butir-butir rumusan masalah dan tujuan penelitian, maka penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan jenis penelitian lapangan (field research), yaitu metode yang mempelajari fenomena dalam lingkungannya yang alamiah.[2] Oleh karena itu, objek penelitiannya adalah objek di lapangan yang sekiranya mampu memberikan informasi tentang kajian penelitian. Maka, peneliti terjun secara langsung ke Pondok Pesantren al-Mawaddah Honggosoco Jekulo Kudus.
Secara umum penelitian kualitatif adalah suatu proses penelitian yang dilakukan dengan mendiskripsikan apa yang ada di dalam lapangan dengan instrument utama peneliti itu sendiri[3]. Jadi Tujuan penelitian lapangan adalah untuk mempelajari secara intensif tentang latar belakang keadaan sekarang, dan interaksi lingkungan sesuatu unit sosial, individu kelompok, lembaga atau masyarakat. Sedangkan jika ditinjau dari tujuan penelitian, jenis penelitian ini adalah penelitian dasar, yaitu dengan pencarian terhadap sesuatu karena ada perhatian dan keingintahuan terhadap hasil suatu aktifitas. Perhatian utama dalam penelitian ini adalah kesinambungan dan integrasi dari ilmu dan filosofi.[4].
Dalam penelitian kualitatif ini akan mengungkapkan dan memahami peran kyai dalam menumbuhkan sikap mandiri pada santri di Pondok Pesantren al-Mawaddah Honggosoco Jekulo Kudus.
B.     Sumber Data
Sumber data yang dipakai oleh penulis adalah suber sumber primer dan sekunder. Sumber primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data, misalnya melalui wawancara langsung dengan kiyai, pengurus, atau santri. Sedangkan sumber sekunder merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data misalnya lewat orang lain atau lewat dokumen.[5]
Dalam usaha memperoleh data dari sumbernya, nantinya penulis akan melakukan :
a.  Wawancara dengan pengasuh, pengurus, ustadz, santri serta alumni dari Ponpes al-Mawaddaah Jekulo Kudus.
b. Observasi langsung dengan menggunakan jenis observasi partisipatif Dokumentasi terhadap file-file yang dimiliki oleh Ponpes al-Mawaddaah Jekulo Kudus guna menambah informasi dan data yang lebih valid.
C.    Lokasi Penelitian
Penulis dalam kesempatan ini mengambil lokasi penelitian di Pondok Pesantren al-Mawaddah Honggosoco Jekulo Kudus karena letaknya yang mudah dijangkau, strategis dan juga di situ terdapat masalah yang penulis bahas yaitu tentang : Peran kyai dalam menumbuhkan sikap mandiri pada santri di Pondok Pesantren al-Mawaddah Honggosoco Jekulo Kudus.
Penelitian dilaksanakan mulai pada tanggal 4 Februari sampai 3 Mei 2014. Dan jika dalam rentan waktu tersebut belum mencukupi maka peneliti akan meminta perpanjangan guna melengkapi data penelitian yang belum terselesaikan.
D.    Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan.[6]
Adapun teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan adalah sebagai berikut:
1.    Observasi
Dalam hal ini peneliti menggunakan observasi partisipasi pasif (Passive Participation). Partisipasi pasif artinya peneliti datang di tempat kegiatan orang yang diamati, tetapi tidak ikut terlibat dalam kegiatan tersebut.[7] Peneliti melakukan pengamatan terhadap berlangsungnya kegiatan pembelajaran yang terkonsep dalam kurikulum dengan tanpa mempengaruhi kegiatan pembelajaran yang sedang berlangsung sehingga kegiatan pembelajaran tetap berjalan secara alami dan apa adanya.
2.    Wawancara
Wawancara adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara.[8] Dengan kata lain, bahwa interview/wawancara yang dimaksudkan untuk merekam data-data tertulis yang berfungsi sebagai data sangat penting untuk bahan analisis. Wawancara ini dilakukan terhadap narasumber/informan yang bersangkutan dengan penelitian. Metode ini peneliti gunakan untuk menambah, memperkuat dan melengkapi data hasil observasi. Wawancara semi terstruktur digunakan untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, dimana pihak yang diajak wawancara diminta pendapat dan ide-idenya.[9]
Untuk memperoleh tambahan informasi mengenai peran kyai dalam menumbuhkan sikap mandiri pada santri di Pondok Pesantren al-Mawaddah Honggosoco Jekulo Kudus, peneliti melakukan wawancara dengan kiai, pengurus pondok pesantren dan peserta didik (santri) adalah orang yang terlibat langsung dalam sistem tersebut.
3.    Dokumentasi
Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Hasil penelitian dari observasi atau wawancara, akan lebih kredibel kalau didukung oleh sejarah pribadi di masa kecil, di sekolah, di masyarakat, autobiografi, dan foto-foto atau karya tulis akademik dan seni yang telah ada.[10]
Metode dokumentasi ini digunakan untuk mendapatkan data tentang bentuk pelatihan kemandririan pada santri di Pondok Pesantren al-Mawaddah Honggosoco Jekulo Kudus. Metode dokumentasi dapat dilakukan dengan mengambil data dari hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, internet, dan sebagainya.[11]
Metode dokumentasi dipakai peneliti dalam mengumpulkan data mengenai kondisi umum wilayah penelitian, struktur kepengurusan dan tujuan pondok pesantren. Data tersebut berasal dari arsip Pondok Pesantren al-Mawaddah Honggosoco Jekulo Kudus. Sedangkan untuk mendokumentasikan peneliti menggunakan alat bantu arsip buku dan kamera.

Metode observasi, wawancara, dan dokumentasi peneliti gunakan dengan memadukan ketiganya untuk memperoleh data dari berbagai sudut pandang. Untuk mengetahui peran kyai dalam menumbuhkan sikap mandiri pada santri di Pondok Pesantren al-Mawaddah Honggosoco Jekulo Kudus, peneliti melakukan observasi terhadap kegiatan santri, melakukan wawancara dengan pengurus pondok pesantren, santri baik yang masih aktif di pondok maupun alumni serta didukung dokumentasi foto yang berada di pondok pesantren.
E.     Uji Keabsahan Data
Dalam pengujian/pemeriksaan sahnya data, metode penelitian kualitatif memiliki beberapa istilah antara lain :
1.  Uji Credibility ( Validitas internal )
Dalam uji credibility data atau kepercayaan terhadap data terdapat bermacam-macam pengujiannya antara lain dilakukan dengan perpanjangan, pergantian, peningkatan, ketelitian dalam penelitian, tringulasi, diskusi dengan teman sejawat, analisis kasus negative dan member check.[12]
Dalam penelitian ini, pengujian kredibilitas data dilakukan  melalui:
a.  Perpanjangan pengamatan
Pada tahap awal peneliti memasuki lapangan, peneliti masih dianggap orang asing, masih dicurigai, dan mungkin masih banyak yang dirahasiakan. Dengan perpanjangan pengamatan ini, peneliti mengecek kembali apakah data yang telah diberikan selama ini merupakan data yang sudah benar atau tidak. Bila data yang diperoleh selama ini setelah dicek kembali pada sumber data asli atau sumber data lain ternyata tidak benar, maka peneliti melakukan pengamatan lagi yang lebih luas dan mendalam sehingga diperoleh data yang pasti kebenarannya.


b. Meningkatkan Ketekunan
Meningkatkan ketekunan berarti melakukan pengamatan secara lebih cermat dan berkesinambungan. Dengan cara tersebut, maka kepastian data dan urutan peristiwa akan dapat direkam secara pasti dan sistematis.
Pengujian kredibilitas dengan meningkatkan ketekunan ini dilakukan dengan cara peneliti membaca seluruh catatan hasil penelitian secara cermat, sehingga dapat diketahui kesalahan dan kekurangannya. Demikian juga dengan meningkatkan ketekunan, maka peneliti dapat memberikan deskripsi data yang akurat dan sistematis tentang apa yang diamati.
Sebagai bekal peneliti untuk meningkatkan ketekunan adalah dengan cara membaca berbagai referensi buku maupun hasil penelitian atau dokumentasi yang terkait dengan temuan yang diteliti. Dengan membaca ini, maka wawasan peneliti akan semakin luas dan tajam, sehingga dapat digunakan untuk memeriksa data yang ditemukan itu dipercaya atau tidak.[13]
c.  Member Check
Member check adalah proses pengecekan data yang diperoleh peneliti kepada pemberi data. Tujuan member check adalah untuk mengetahui seberapa jauh data yang diperoleh sesuai dengan apa yang diberikan oleh pemberi data.[14]
d. Menggunakan Bahan Referensi
Yang dimaksud dengan bahan referensi adalah adanya pendukung untuk membuktikan data yang telah ditemukan oleh peneliti.[15] Untuk menguatkan penelitian, peneliti memperkuat hasil penelitian dengan gambar foto-foto yang diambil peneliti selama proses penelitian.

2.  Uji Transferability  ( Validitas Eksternal )
Transferability ini merupakan validitas eksternal dalam penelitian kualitatif. Validitas eksternal menunjukkan derajat ketepatan atau dapat diterapkannya hasil penelitian kepopulasi dimana sampel tersebut diambil.
Oleh karena itu supaya oranglain dapat memahami hasil penelitian kualitatif sehingga ada kemungkinan untuk menerapkan hasil penelitian tersebut maka penelitian dalam membuat laporannya harus memberikan uraian yang rinci, jelas, sistuntis dan dapat dipercaya. Dengan demikian pembaca menjadi jelas atas hasil penelitian tersebut, sehingga dapat memutuskan dapat atau tidaknya untuk mengaplikasikan hasil penelitian tersebut ditempat lain.
3.  Uji Debendability  ( Reabilitas )
Dalam penelitian kualitatif, uji debendability dilakukan dengan melakukan audit terhadap keseluruhan proses penelitian.[16] caranya dilakukan oleh auditor yang independent atau pembimbing untuk mengaudit keseluruhan aktifitas peneliti dalam melakukan penelitian.
4.  Uji Confirmability ( Obyektivitas )
Uji Confirmability mirip dengan uji debendability sebagai pengujiannya dapat dilakukan secara bersama. Menguji confirmability berarti menguji hasil penelitian, dikaitkan dengan proses yang dilakukan. Bila hasil penelitian merupakan fungsi dalam proses penelitian yang dilakukan, maka penelitian tersebut telah memenuhi standar confirmability.[17]
F.     Tehnik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif. Analisis data kualitatif adalah bersifat induktif, yaitu suatu analisis berdasarkan data yang diperoleh selanjutnya dikembangkan pola hubungan tertentu atau menjadi hipotesis.[18] Mengikuti konsep yang diberikan Milles dan Huberman. Miles dan Hubermen mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus-menerus pada setiap tahapan penelitian sehingga tuntas dan datanya sampai jenuh. Aktivitas dalam analisis data ini meliputi:
a.    Data reduction (reduksi data)
Dalam melakukan penelitian dapat berkembang permasalahannya dan data yang diperoleh dari lapangan cukup banyak jumlahnya. Untuk itu perlu segera dilakukan analisis data melalui reduksi data. Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya dan membuang yang tidak perlu.[19]
Mereduksi data berarti merangkum data, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya dan membuang data yang tidak perlu. Dengan demikian, akan memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai data yang benar-benar diperlukan dan mempermudah penulis dalam melakukan pengumpulan data selanjutnya.
Dalam hal ini penulis merangkum hal-hal yang akan diteliti yaitu mengenai peran kyai dalam menumbuhkan sikap mandiri pada santri di Pondok Pesantren al-Mawaddah Honggosoco Jekulo Kudus, sehingga ketika masuk di lapangan peneliti akan mudah dalam melakukan penelitian karena sudah mempunyai bahan yang akan diteliti.
b.    Penyajian Data (Data Display)
Setelah melakukan reduksi data, langkah selanjutnya adalah mendisplaykan data. Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori. Dalam hal ini Miles dan Hubberman menyatakan yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif.[20]
Data yang peneliti dapatkan kemudian disajikan dalam penjelasan naratif serta menganalisisnya dengan cara menceritakan temuan serta hubungannya dengan teori yang peneliti sajikan dalam bab II. Jadi, Setelah data dirangkum maka langkah selanjutnya yakni mengorganisasikan data agar tersusun dalam pola hubungan, sehingga akan semakin mudah dipahami.
c.    Menarik kesimpulan atau verifikasi (Conclution drawing/ verification)
Langah ketiga dalam analisis data ini adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah jika tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal didukung dengan bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.[21]
Kesimpulan dalam penelitian kualitatif diharapkan merupakan temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu obyek yang sebelumnya masih belum jelas sehingga setelah diteliti menjadi jelas, dapat berupa hubungan kausal atau interaktif, hipotesis atau teori.[22]



[1] Sumardi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada: Jakarta, 1995, hal. 59.
[2] Dedy Mulyana, Metologi Penelitian Kualitatif (Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya), Remaja Rosdakarya:Bandung, 2004, hal. 160.
[3] Mukhamad Saekan, Metodologi Penelitian Kualitatif, Nora Media Enterprise:Kudus, 2010, hal. 9.
[4] Moh. Nazir, Metode Penelitian, Ghntalia Indonesia:Jakarta, Cet. keempat, 1999, hal. 30.
[5] Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, Alfabeta: Bandung, 2012, hal. 193.
[6] Ibid, hal. 308.
[7] Ibid, hal. 312.
[8] Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, PT. Rineka Cipta:Jakarta, 1993, hal. 191.
[9] Sugiyono, Op. Cit., hal. 320.
[10] Ibid., hal. 329.
[11] Suharsimi Arikunto, Op. Cit., hal.187.
[12] Ibid., hal. 368.
[13] Sugiyono, Op.Cit., hal. 370.
[14] Ibid., hal. 375.
[15] Ibid., hal. 375.
[16] Ibid., hal.376-377.
[17] Ibid., hal.378.
[18] Ibid., hal.335.
[19] Ibid., hal. 338.
[20] Ibid., hal. 341.
[21]Ibid., hal. 338-345.
[22] Ibid., hal. 345.




[1]Faisal Jalal, Didi Supriadi, Reformasi Pendidikan dalam Konsteks Otonomi Daerah, Adi Cita, Karya Nusa Yogyakarta, 2001.hal.20

[2] Dewa ketut sukardi, pelaksanaan bimbingan dan konseling di sekolah. rineka cipta. Jakarta. 2006. hal.28
[3] J.L.G.M. Drost S, J. Sekolah : Mengajar atau Mendidik?, Konislun: Jakarta, 1998, hal. 39.
[4] Ahmad Mutohar, AR. Idiologi Pendidikan Pesantren: Pesantren di Tengah Arus Idiologi-Idiologi Pendidikan, Pustaka Rizki Putra: Semarang, Cet Pertama. 2007, hal. 11.
[5] Syamsul Ma’arif, Pesantren Vs Kapitalisme Sekolah, Need’s Press: Semarang, 2008, hal. 62-63.

2 comments:

  1. assalamualaikum pak boleh minta file tentang tesis di atas yg lengkap untuk penguatan data d skripsi saya makasih

    ReplyDelete
  2. BOLEH MINTAA CONTOH DATA2 WAWANCARA

    ReplyDelete