PERAN KYAI DALAM MENUMBUHKAN SIKAP MANDIRI PADA
SANTRI DI
PONDOK PESANTREN AL-MAWADDAH HONGGOSOCO JEKULO KUDUS
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Dua (S.2)
Dalam Ilmu Manajemen Bimbingan dan Konseling
Oleh :
M. Syaiful Anam
NIM. 14071
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
PASCA
SARJANA MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
2015
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah Negara yang
bermartabat, Negara yang menjunjung tinggi pancasila dan UUD 1945. Indonesia
mayoritas masyarakatnya religious khususnya Agama Islam,
sehingga agama dipandang
sebagai sebuah kebutuhan yang sangat berarti. Oleh
karena itu sangatlah wajar apabila penanaman nilai-nilai keagamaan melalui
pendidikan agama Islam sangat diperhatikan oleh pemerintah.
Agama mempunyai
peran yang sangat penting baik di lingkungan masyarakat, lembaga
pendidikan, budaya dan lainnya, salah satu
prinsip teori fungsional menyatakan bahwa segala sesuatu yang tidak berfungsi
akan lenyap dengan sendirinya karena sejak dahulu hingga sekarang agama selalu menyatakan eksistensinya.
Berbicara
mengenai lembaga pendidikan, lembaga pendidikan adalah tempat dimana seseorang
memperoleh pendidikan. lembaga pendidikan meliputi: formal, informal dan nion
formal, lembaga pendidikan formal pendidikan yang diselenggarakan oleh
pemerintah maupun masyarakat dan sifatnya berjenjang sesuai dengan kurikulum
pendidikan yang berlaku misalnya seperti sekolahan. pendidikan informal adalah
pendidikan yang bersumber dari keluarga, sedangkan pendidikan non formal adalah
pendidikan tentang kecakapan hidup, ketrampilan dan kecakapan kerja, misalnya lembaga
pelatihan kerja, kursus dan lain-lain.
Pendidikan
mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pembangunan suatu bangsa.
Berbagai kajian di banyak negara menunjukkan kuatnya hubungan antara pendidikan
(sebagai sarana pengembangan sumber daya manusia) dengan perkembangan
bangsa-bangsa tersebut yang ditunjukkan oleh indikator ekonomi dan sosial
budaya. Pendidikan yang mampu memfasilitasi perubahan adalah pendidikan yang
merata, bermutu dan relevan dengan kebutuhan masyarakatnya.[1]
Pada
Pesantren Al Mawaddah misalnya, Pondok Pesantren Al Mawaddah merupakan sebuah
pondok yang berbasis tidak hanya keagamaan akan tetapi juga enterprenership
dan juga membekali santri dengan berbagai keahlian yang intinya adalah mencetak
santri yang mandiri. Santri disana terdiri dari mahasiswa di perguruan tinggi
Islam dan dari sekolah menengah maupun yang tidak bersekolah. Kurang percaya
diri dan kekhawatiran pada santri tentang
realita yang kebanyakan para santri tidak mempunya skill ataupun
keahlian untuk berwirausaha/mandiri, dan itu menjadi kecemasan juga pada kyai
karna tugas kyai adalah membantu dan menuntun para santri agar dapat mengenal
dirinya dan agar lebih bisa bersikap mandiri, dan diharapkan mampu membatasi
perilaku yang kurang baik pada anak. hal ini sangat relevan, jika dilihat dari
perumusan pendidikan yang merupakan usaha yang bertujuan mengembangkan
kepribadian dan potensi-potensinya (bakat, minat, kemampuan)[2].
Maka
dari itu pihak pengurus pondok melakukan upaya untuk menanggulangi hal
tersebut, akhirnya di adakan program atau kegiatan entrepreneur yang
bertujuan untuk melatih para santri agar nantinya setelah lulus dari pondok
agar mampu bersaing ditengah-tengah masyarakat.
Kegiatan belajar mengajar menjadi tanggung jawab
antara guru/kyai dan murid/santri. Guru/kyai dalam melakukan pembelajaran hendaknya tidak hanya melakukan
kegiatan belajar mengajar saja, akan tetapi melakukan pendekatan dan memahami
karakteristik siswa/santri serta memberi motivasi belajar pada santri agar
nantinya santri setelah lulus dari lembaga pondok pesantren menjadi lulusan
yang siap terjun ke masyarakat.
Berdasarkan
dari latar belakang masalah diatas, maka peneliti berkeinginan untuk meneliti
lebih jauh tentang “Peran Kyai dalam Menumbuhkan Sikap Mandiri Pada Santri
Di Pondok Pesantren Al-Mawaddah Honggosoco Jekulo Kudus”.
B. Penegasan Istilah
Apabila lembaga
pendidikan tidak mampu untuk mengikuti arus perkembangan zaman atau tidak mampu
untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, akan cenderung
menurunkan minat masyarakat untuk menyekolahkan anaknya di lembaga pendidikan
tersebut. Demikian halnya pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan agama
di Indonesia juga harus mampu mengikuti perkembangan zaman ilmu pengetahuan dan
teknologi, tapi kegiatan itu tidak bisa terlepas dari ajaran agama Islam.
Agar
tidak terjadi perbedaan penafsiran
maupun persepsi atas judul tersebut, maka ada beberapa istilah yang sekiranya
perlu penegasan dan pembatasan lebih lanjut diantaranya:
1.
Pengertian kyai
Kyai adalah pimpinan di pondok pesantren adaalah kyai.
Kyai adalah tokoh karismatik yang diyakini memiliki pengetahuan agama yang luas
sebagai pemimpin sekaligus pemilik pondok pesantren.
2.
Mandiri
Mandiri dapat ditinjau dari dua segi, yaitu pengertian
secara etimologi (bahasa) dan pengertian secara terminologi (istilah). Kamus
Besar Bahasa Indonesia mengungkapkan kata "mandiri" diartikan dapat
berdiri sendiri tanpa bantuan oranglain.
Sedangkan mandiri secara istilah diartikan menurut
beberapa ahli antara lain : J.L.G.M. Drost S.J, menyatakan bahwa kemandirian
adalah keadaan kesempurnaan dan keutuhan kedua unsur (budi dan badan) dalam
kesatuan pribadi. Dengan kata lain, manusia mandiri adalah pribadi dewasa yang
sempurna. Pada dasarnya pengertian
mandiri itu dapat ditinjau dari dua segi, yaitu pengertian secara etimologi (bahasa)
dan pengertian secara terminologi (istilah).
Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia kata
"mandiri" mempunyai arti keadaan dapat berdiri sendiri, tidak
bergantung pada orang lain.
Sedangkan
pengertian mandiri secara istilah diartikan oleh beberapa ahli antara lain :
J.L.G.M. Drost S.J, menyatakan bahwa kemandirian adalah keadaan kesempurnaan
dan keutuhan kedua unsur (budi dan badan) dalam kesatuan pribadi. Dengan kata
lain, manusia mandiri adalah pribadi dewasa yang sempurna.[3]
3.
Pesantren
Pesantren
berasal dari kata santri yang diimbuhi awalan pe- dan akhiran -an yang
berarti menunjukkan tempat, maka artinya adalah tempat para santri. Pesantren juga berasal dari bahasa Tamil yang artinya
guru mengaji atau dari bahasa India “sastri” dan “sastra” yang berarti
buku-buku agama atau ilmu tentang ilmu pengetahuan.[4]
Secara terminologis, Mastuhu mengartikan pesantren
adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami,
menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam dengan menekankan
pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari.[5]
C. Fokus Penelitian
Fokus dalam penelitian ini adalah
Peran Kyai Dalam Menumbuhkan Sikap Mandiri Pada Santri. Dalam
hal ini yang menjadi objek penelitian adalah santri di Pondok
Pesantren al-Mawaddah Honggosoco Jekulo Kudus.
Pondok Pesantren al-Mawaddah Honggosoco Jekulo
Kudus merupakan pesantren yang
menggunakan pembelajaran sistem modern, karena menurut survei yang telah dilakukan penulis, banyak pesantren yang hanya
memberikan ilmu-ilmu agama saja saja. Hal ini jelas berbeda dengan pendidikan yang ada di Pondok
Pesantren al-Mawaddah Honggosoco Jekulo Kudus, karena pendidikan yang diberikan tidak
hanya berbentuk ilmu agama tetapi juga diberi ilmu berwirausaha agar nantinya
santri bisa mandiri.
Melatih sikap mandiri para santri diberi pelatihan
wirausaha yang ada Pondok Pesantren al-Mawaddah
Honggosoco Jekulo Kudus seperti
perkebunan, pertanian dan segala macam kebutuhan-kebutuhan lain. Hal ini
membuktikan bahwa modernisasi pesantren telah terlaksana dengan baik. Sedangkan
spiritual pesantren, di samping dzikir-dzikir yang diterapkan Pondok Pesantren al-Mawaddah Honggosoco Jekulo Kudus
juga memberikan pelatihan Islami, yang menekankan pada kecerdasan spiritual.
Yang pada hakikatnya pengajaran hendaknya menanamkan ke dalam jiwa anak didik
kesadaran akan hadirnya Tuhan dalam hidup, dan Tuhan akan selalu mengawasi
segala tingkah laku manusia (human actions).
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis
dapat merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah
Peran Kyai dalam Menumbuhkan Sikap Mandiri Pada Santri di Pondok
Pesantren al-Mawaddah Honggosoco Jekulo Kudus?
2. Apa
yang melatarbelakangi Kyai dalam Menumbuhkan Sikap Mandiri Pada Santri di Pondok Pesantren al-Mawaddah Honggosoco Jekulo Kudus?
3. Apa
kendala yang dihadapi Kyai dalam Menumbuhkan Sikap Mandiri Pada Santri di Pondok Pesantren al-Mawaddah Honggosoco Jekulo Kudus?
E. Tujuan Penelitian
Suatu penelitian harus mempunyai tujuan yang jelas,
sehingga dengan adanya tujuan tersebuut dapat dicapai solusi atas masalah yang
dihadapi, maupun untuk memenuhi kebutuhan perseorangan. Berdasarkan masalah di
atas, maka penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Untuk
mengetahui Peran Kyai Dalam Menumbuhkan Sikap Mandiri Pada Santri di Pondok Pesantren al-Mawaddah Honggosoco Jekulo Kudus
2. Untuk
mengetahui apa yang melatarbelakangi Kyai Dalam Menumbuhkan Sikap Mandiri Pada
Santri di Pondok Pesantren al-Mawaddah Honggosoco Jekulo Kudus
3. Untuk
mengetahui pesan dakwah yang terkandung dalam kegiatan entrepreneurship di Pondok Pesantren al-Mawaddah
Honggosoco Jekulo Kudus.
F. Manfaat Penelitian
Nilai suatu penelitian ditentukan oleh besarnya
manfaat yang dapat di ambil dari penelitian tersebut. Adapun manfaat yang
diharapkan penulis dari penelitian ini antara lain:
1. Manfaat
teoritis
Untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi
pengembangan ilmu Managemen Pendidikan Islam pada umumnya, khususnya Managemen Bimbingan
dan Konseling mengenai Peran Kyai Dalam Menumbuhkan Sikap Mandiri Pada Santri
di Pondok Pesantren al-Mawaddah Honggosoco Jekulo Kudus
2. Manfaat
praktis
a. Bagi
Guru/kyai, dapat menambah keterampilan tentang trik-trik yang menarik dan
memikat santri/murid.
b. Untuk
menambah pengetahuan tentang faktor-faktor pendukung dalam kegiatan mengajar.
G. Sistematika Penulisan
Dalam upaya untuk mempermudah penulisan penelitian
dapat dipahami dengan mudah oleh pembaca, maka penyusunan ini dibagi menjadi
beberapa bab dan setiap bab memuat sub bab, dimana antara sub bab yang sains
dengan lainnya memiliki keterkaitan. Adapun sistematika penulisan adalah
sebagai berikut:
1. Bagian
muka
Pada bagian ini
terdiri dari halaman judul, halaman nota persetujuan pembimbing, halaman
pengesahan, halaman motto, halaman pengantar dan halaman daftar isi.
2. Bagian
isi
Bab pertama,
yaitu pendahuluan. Pada bab ini berisi tentang latar belakang masalah,
penegasan judul, fokus penelitian, rumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab kedua, yaitu
kajian pustaka. Pada bab ini akan di bahas mengenai: pertama, Pengertian Kyai,
dan teori-teori tentang pondok pesantren, kedua, penelitian terdahulu dan
ketiga kerangka berfikir.
Bab ketiga,
metode penelitian. Pada bab ini akan di bahas metode penelitian yang meliputi:
jenis penelitian, pendekatan penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data,
uji kredibilitas data, serta analisa data.
4.
Bab empat, hasil
penelitian/pembahasan. Berisi, pertama berisi gambaran umum Pondok Pesantren al-Mawaddah Honggosoco Jekulo Kudus.
Kedua, data penelitian, berisi data tentang bentuk pelatihan kemandirian di Pondok Pesantren al-Mawaddah Honggosoco Jekulo Kudus,
dan data tentang kendala yang dihadapi dalam penerapan pelatihan kemandirian di
Pondok Pesantren al-Mawaddah Honggosoco Jekulo Kudus.
Ketiga, Analisis data/pembahasan, berisi analisis data tentang bentuk pelatihan
kemandirian di Pondok Pesantren al-Mawaddah Honggosoco Jekulo
Kudus.
5.
Bab lima,
penutup. Bab ini berisi kesimpulan dari seluruh pembahasan yang sudah
dipaparkan dan saran yang berhubungan dengan pembahasan secara keseluruhan.
3. Bagian
akhir
Bagian akhir ini
terdiri dari daftar pustaka, daftar riwayat pendidikan dan lampiran.
BAB
II
KAJIAN
PUSTAKA
A.
Deskripsi Teori
1.
Kyai
Sebutan kyai bukan berasal dari
bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa, di Jawa kata “kyai” dipakai pada tiga
jenis gelar yang berbeda yakni: sebagai sebutan kehornatan agung, keramat, dan
dituahkan, gelar kehormatan bagi laki-laki yang sudah berumur, bijaksana, dan
menjadi panutan masyarakat, gelar kehormatan yang diberikan oleh masyarakat
kepada seorang yang mempunyai ilmu agama yang tinggi dan membaktikan dirinya
dijalan Allah SWT, bisa juga menjadi pendiri, pengasuh di sebuah pondok pesantren.[1]
Pada jaman dahulu gelar kyai hanya
patut diberikan kepada orang yang mendirikan sekaligus mengasuh pondok
pesantren, tapi sekarang gelar kyai diberikan kepada orang-orang yang menguasai
ilmu Agama Islam dan dan memberikan
pengaruh pada masyarakat.[2]
Dalam masyarakat tradisional
seseorang berhak menyandang gelar kyai, karena banyak orang yang minta nasehat
kepadanya, atau mengirimkan anaknya untuk belajar kepadanya. Tokoh kyai adalah
pemimpin atau tokoh sentral yang mengatur berjalannya lembaga pendidikan pondok
pesantren. Dalam kedudukan pesantren peran kyai sangat penting bergantung pada
kepribadian dan suri tauladan dan kebijaksanaan dari sang kyai.
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan
bahwa kyai adalah gelar yang diberikan
oleh masyarakat kepada seorang laki-laki yang sudah tua, dan mempunyai
pengetahuan ilmu Agama Islam yang tinggi, dan dapat member suri tauladan bagi
masyarakat. Kemajuan dan keberhasilan pondok pesantren bergantung dari sosok
kyainya, karena sosok kyai sebagai pemangku tertinggi di pondok pesantren
tersebut.
2.
Mandiri
a.
Pengertian Mandiri
Pada dasarnya pengertian mandiri itu
dapat ditinjau dari dua segi, yaitu pengertian secara etimologi (bahasa) dan
pengertian secara terminologi (istilah).
Menurut Enung Fatimah mandiri adalah
berdiri dengan kemampuan sendiri dan tidak bergantung pada oranglain serta
bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya.[3]
Sedangkan menurut Zakiyah Daradjat, defenisi
mandiri adalah: melakukan suatu hal tanpa minta tolong kepada oranglain, dan juga
mengukur dan mengarahkan kemampuannya tanpa tunduk pada oranglain. Biasanya anak
yang mandiri lebih mampu memikul tanggung jawab, dan pada umumnya tingkat
emosinya stabil.[4]
Dari pengertian diatas maka penulis
mendefinisikan mandiri adalah kemampuan seseorang dalam melakukan sesuatu tanpa
minta bantuan oranglain, dan mapu bertanggung jawab pada apa yang dilakukannya.
b.
Ciri-ciri Kemandirian.
Ciri-ciri kemandirian pada dasarnya
sangat luas dan tingkat kemandiriannya pun sangat beragam pada tingkatan usia.
Dalam hal ini banyak ahli yang menjabarkan ciri-ciri tersebut.
Menurut Beller dikutip Dra. Muntholi’ah, M.Pd, ciri-ciri
kemandirian meliputi:
1.
Mempunyai
inisiatif
2.
Mengatasi
kesulitan yang datang dari lingkungan
3.
Mencoba
melakukan aktifitas untuk mencari kesempurnaan
4.
Mendapatkan
kepuasan dari hasil kerjanya
Sedangkan menurut Gilmore dikutip
dari Chabib Toha merumuskan ciri-ciri kemandirian meliputi:
1.
Ada
rasa tanggung jawab
2.
Memiliki
pertimbangan dalam menilai problema yang dihadapi secara intelijen
3.
Adanya
perasaan aman bila berbeda pendapat dengan orang lain
Menurut Dra.
Muntholi’ah, M.Pd. ciri-ciri mandiri sebagai berikut:
1.
Mampu
berfikir kritis, kreatif, dan Inovatif
2.
Tidak
mudah terpengaruh oleh pendapat orang lain
3.
Tidak
lari atau menghindar dari masalah
4.
Memecahkan
masalah dengan berfikir yang mendalam
5.
Apabila
menjumpai masalah diselesaikan sendiri tanpa bantuan orang lain
6.
Tidak
merasa rendah diri bila berbeda pendapat dengan orang lain
7.
Berusaha
bekerja dengan penuh ketekunan dan disiplin
Berdasarkan
uraian diatas, Kemandirian diwujudkan dengan adanya mempunyai kemapuan inisiatif
dan kebebasan bertindak pada apa yang akan dilakukan, berusaha keras dalam
setiap kegiatan dan bertanggung jawab dalam setiap aktivitas.
c.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian Anak.
Adapun faktor yang mempengaruhi
kemandirian dapat dibedakan menjadi 2, yaitu :
1.
Faktor
Internal
Yaitu faktor yang ada dalam diri
anak antara lain faktor kemantangan usia dan jenis kelamin serta
inteligensinya.[8] Faktor iman dan taqwa merupakan faktor penguat terbentuknya sifat
mandiri. Hal ini dapat dilihat dalam ayat Al-Qur'an sebagai berikut :
كُلُّ
نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ (المدثر: 38
"Tiap-tiap orang bertanggung
jawab terhadap segala yang diperbuatnya". (Al-Mudatsir : 38).
(وَلَا تَهِنُوا وَلَا
تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (ال عمران: 139
"Janganlah kamu merasa lemah,
dan jangan pula merasa sedih, kamu adalah orang-orang yang paling baik apabila
kamu beriman". (Ali-Imran : 139).[17]
2.
Faktor
Eksternal
Yaitu faktor yang berasal dari luar
diri anak tersebut yang meliputi:
1)
Pembinaan
Setiap manusia.anak pasti ingin
mandiri, anak tidak mungkin lansung bisa mandiri tanpa ada bimbingan dan juga
arahan dari orangtuanya.
2)
Pembiasaan
dan Pemberian Kesempatan
Pendidikan hendaknya menyadari bahwa
dalam memberikan pelatihan, membina dan memberikan pengarahan pada pribadi anak
jangan hanya sebatas coba-coba dalam artian Cuma sekali, karena pembiasan dan
latihan secara rutin dan terus menerus akan memberikan dampak yang baik pada
anak dan akhirnya akan melekat pada
pribadi anak. Dalam pembiasaan itu dapat dilakukan dengan :
a.
Teladan
Dengan teladan maka akan timbul
gejala identifikasi positif, yaitu penyamaan diri dengan orang yang ditiru.[9]
b.
Anjuran,
Suruhan dan Perintah
Anjuran, suruhan dan perintah adalah
hal yang meski digunakan, karena akan memberikan dampak yang baik pada anak.
c.
Latihan
d.
Pujian
e.
Hukuman
3.
Pondok Pesantren
a.
Pengertian Pondok Pesantren
Secara etimologi, pesantren berasal dari
kata “santri” yang mendapat awalan pe- dan akhiran -an yang
berarti tempat tinggal santri.[13]
Secara terminologis, Mastuhu mengartikan
pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk memahami,
menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam (tafaqquh fi al-din) dengan
menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat
sehari-hari.[14]
Menurut Zamahsari Dhofier, ciri khas
atau ideologi pendidikan pesantren sangat dipengaruhi oleh ideologi pendiri
pesantren tersebut yang berfaham ahlussunnha wal jamaah. Dan dalam kajian
hukum-hukum Islam mengacu pada empat madzhab, dan penggunaan Madzhab Syafi’i
sangat kentara dalam
pesantren hal tersebut dapat dilihat dari kitab-kitab /kurikulum yang
digunakan. Hal tersebut tidak bisa lepas dari faktor sejarah penyebaran Islam
di Indonesia bahwa para walisongo dalam praktek-praktek keagamaan “ibadah”
menggunakan Madhab Syafi’i.[15]
Kemudian dipertegas lagi bahwa pada
umumnya para kyai dibesarkan dan dididik dalam lingkungan pesantren yang
memegang teguh faham Islam tradisional. Ketegasan para kyai memilih faham Islam
tradisional ini secara
jelas dapat dibuktikan dari kitab-kitab yang diajarkan dipesantren, hampir
semua pondok pesantren yang ada di Jawa merupakan pengikut faham ahlussunnahwaljama’ah
dengan bepegang kepada tradisi sebagai berikut:
a)
Dalam bidang
hukum-hukum Islam menganut ajaran-ajaran dari salah satu madzhab empat. Dalam
praktek, para kyai adalah penganut kuat dari Madzhab Syafi’i.
b)
Dalam soal-soal
tauhid, menganut ajaran Imam Abu Hassan dan Imam Abu Mansur al-Maturidi.
c)
Dalam bidang
tasawwuf menganut dasar-dasar ajaran Imam Abu Qosim Al-Junaid.[16]
Berkaitan dengan hal tersebut, dapat
disimpulkan bahwa pondok pesantren adalah salah satu institusi pendidikan Islam
yang digunakan sebagai sarana mendidik para santri dalam belajar agama Islam
secara mendalam untuk bekal mereka nantinya agar selamat di dunia dan akhirat.
b. Komponen-Komponen Pondok Pesantren
Komponen-komponen yang terdapat pada
sebuah pesantren pada umumnya terdiri dari : kyai, guru/ustadz, santri dan
pengurus. Penjelasan komponen-komponen ini diuraikan lebih lanjut:[17]
a)
Kyai
Pimpinan di pondok pesantren adaalah
kyai. Kyai adalah tokoh karismatik yang diyakini memiliki pengetahuan agama
yang luas sebagai pemimpin sekaligus pemilik.
b)
Guru atau Ustadz
Guru atau ustadz mempunyai peran
strategis dalam pendidikan pesantren. Guru selain sebagai penjaga moral setelah
kyai, guru juga dituntut secara intelektual dan terampil dalam mendidik
siswa/santri.
c)
Santri
Santri merupakan elemen penting dalam
pesantren. Jika didasarkan pada konsep manusia menurut Islam yaitu fitrah, maka
pendidikan pesantren dalam memandang santri masuk dalam kategori semua ideology
karena santri tetap dipandang mempunyai daya kelebihan dan kelemahan yang perlu
diperbaiki dalam pesantren.
d)
Pengurus
Selain ketiga elemen di atas, pengurus
juga merupakan elemen krusial dalam pesantren.
B.
Penelitian Terdahulu
Secara sederhana,
pada bagian ini akan dikemukakan beberapa kajian yang akan dilakukan oleh
peneliti. Sekaligus akan juga ditunjukkan beberapa perbedaan dan persamaan
fokus serta aspek yang akan diteliti antara kajian yang akan dilakukan dengan
kajian-kajian terdahulu.
Mohammad Nurul
Hamim (Skripsi, 2012), Modernisasi Pendidikan Pesantren (Studi Analisis
Pendidikan Islam Berbasis Entrepreneurship, Leadership dan Spiritual di Pondok
Pesantren Al-Mawaddah Honggosoco Jekulo – Kudus). Menjelaskan tentang
keunikan pendidikan pesantren dari segi modernisasi. Yaitu penerapan pendidikan
Islam berbasis Entrepreneurship, Leadership dan Spiritual. Jelas sekali
berbeda jauh dengan penelitian yang akan dilakukan walaupun sama-sama Pondok
Pesantren al-Mawaddah[18].
M. Syaiful Anam
(Skripsi, 2014), Pesan Dakwah dalam Kegiatan Entrepreneurship di Kalangan
Santri di Pondok Pesantren Al-Mawaddah Honggosoco Jekulo – Kudus. Menjelaskan
tentang bentuk pesan-pesan dakwah yang terkandung dalam kegiatan entrepreneurship
dikalangan pesantren.[19]
Mustaqim (Skripsi,
2013), Analisis Entrepreneurship di kalangan santri (Studi Kasus di
Pesantren Ma’hadul Ulum As-Syar’iyyah Karangmangu Sarang Rembang). Menjelaskan
tentang keunikan pendidikan pesantren dari segi modernisasi. Yaitu penerapan
pendidikan Islam berbasis Entrepreneurship, Leadership dan Spiritual jelas
sekali berbeda jauh dengan penelitian yang akan dilakukan walaupun sama-sama entrepreneurship
dikalangan pesantren, tapi penelitian yang penulis lakukan terfokus pada pesan-pesan
dakwah yang terkandung didalamnya.[20]
Kesemua penelitian
terdahulu adalah menitik fokuskan di entrepreneur,
leadership, spiritual. Tapi disini penulis menitik fokuskan tentang peran
kyai dalam menumbuhkan sikap mandiri pada santri, agar nantinya kita semua tahu
apa yang melatarbelakangi dan kendala yang dihadapi dalam menumbuhkan sikap
mandiri pada santri di Pondok Pesantren al-Mawaddah Honggosoco Jekulo Kudus.
A. Kerangka Berfikir
Pesantren yang
diakui sebagai model pendidikan awal (Islam) di Indonesia sampai saat ini masih
eksis
dan mampu mempertahankan kredibilitasnya di masyarakat.[21] Meski demikian peran pesantren saat ini boleh dikatakan
sangat terbatas karena pengelolaan kurang kredibel dan fasilitas yang
dimiliki juga apa adanya. Sistem
sorogan, wetonan, dan bandongan menjadi eksistensi
pendidikan pesantren.
Di era
yang
serba canggih ini oleh para
pakar dipandang penting bagi calon-calon da’i
bisa mandiri
dan tidak kalah dengan orang-orang yang bergelar. Dengan dukungan IPTEK era informasi mampu mengubah pola
kehidupan dan mempercepat pekerjaan. Kini orang harus siap menghadapi berbagai
kemungkinan perubahan pada pekerjaan yang selama ini telah ditekuni. Untuk itu
penyesuaian diri terhadap perubahan selalu diperlukan dengan meningkatkan
kecakapan yang memadai. Sementara semangat kompertisi yang cenderung
individualistik, kini telah bergeser ke arah kolektivistik yang memerlukan
kesadaran untuk bekerjasama, saling mengerti dan saling membantu. Dengan
demikian perkembangan aspek sosial perlu mendapat perhatian dan pendidikan di
samping aspek mental, spiritual, personal, intelektual dan pekerjaan (vocational).
Pengelolaan
pesantren yang apa adanya tersebut mudah dilihat dari kurikulum sebagian
pesantren yang belum dikembagkan dan disesuaikan dengan perkembangan ilmu dan
teknologi. Sebagai akibatnya para alumni juga sering gagap dalam menghadapi
tantangan zaman. Sebagai contoh, tatkala ada sebagian alumni pesantren
yang menjadi tokoh masyarakat atau politisi, mereka seakan gagap menghadapi perannya
yang baru karena mereka belum atau bahkan tidak mengetahui betul bagaimana
“kontruksi politik Islam” dan strategi berpolitik yang disebut sebagai politik
tingkat tinggi (high politic). Ini disebabkan karena materi kajian yang
diberikan di pesantren kurang dikontekstualisasikan dengan perkembangan zaman.[22]
Hal
ini sudah dikembangkan dari berbagai aspek, sehingga pesantren tidak lagi kalah
bersaing. Upaya-upaya yang dilakukan dalam meningkatkan pesantren berbasis
modern sangat kuat.
Misalnya saja Pondok Pesantren al-Mawaddah
Honggosoco Jekulo Kudus, melatih kemandirian santri menjadi
sorotan pertama. Tujuannya agar santri
lebih kreatif dalam menanggapi realita kehidupan. Tidak hanya mementingkan
kehidupan akhirat saja, tetapi kehidupan dunia juga dijalankan.
Di pesantren ini para santri tidak hanya di bekali
dengan ilmu agama saja, akan tetapi juga di bekali dengan ilmu sosial
kemasyarakatan agar nantinya siap terjun di masyarakat mengamalkan apa yang didapatnya di
pesantren, meneggakkan amar ma’ruf nahi munkar baik melalui dakwah yang terorganisir maupun proses internalisasi
dalam bidang yang lain. Kegiatan melatih
kemandirian pada santri patut menjadi sorotan karena melalui kegiatan
ini bukan melulu wirausaha semata. Banyak
muatan yang terkandung didalamnya baik dalam segi ekonomi, pendidikan, sosial,
politik.
Gambar 2.1.
Kerangka Berfikir
[1] Zamakhsyari
Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3ES:
Jakarta, 1985, hal. 55
[2] Khozin, Jejak-jejak
Pendidikan Islam di Indonesia (Malang: UMMPress. 2001) hal.
88
[3] Enung Fatimah,
Psikologi Perkembangan: Perkembangan Peserta Didik, Pustaka Setia:
Bandung, 2006, hal. 141.
[5] Muntoli’ah, Konsep Diri Positif Penunjang Prestasi PAI, Gunung Jati
Offset:Semarang, 2002, hal. 54
[13]Ahmad Muttohar.
AR, Ideologi Pendidikan Pesantren, Pustaka Rizki Putra: Semarang, 2007,
hal. 11.
[15] Zamahsyari
Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai, AP3DS:
Jakarta, 1984, hal. 149.
[16]Ibid.,
[17]Ahmad Muttohar.
AR, Loc. Cit., hal. 105-107.
[18]Mohammad Nurul Hamim (Skripsi, 2012), Modernisasi Pendidikan Pesantren
(Studi Analisis Pendidikan Islam Berbasis Entrepreneurship, Leadership dan Spiritual di Pondok
Pesantren Al-Mawaddah Honggosoco Jekulo – Kudus), Perpustakaan STAIN Kudus, 2012, Jurusan
Tarbiyah/PAI
[19] M. Syaiful Anam (Skripsi, 2014), Pesan Dakwah dalam Kegiatan
Entrepreneurship di Kalangan Santri di Pondok Pesantren al-Mawaddah Honggosoco
Jekulo Kudus, Perpustakaan STAIN
Kudus, 2014, Jurusan Dakwah/BKI
[20]Mustaqim (Skripsi, 2013), Analisis Entrepreneurship di kalangan santri
(Studi Kasus di Pesantren Ma’hadul Ulum As-Syar’iyyah Karangmangu Sarang
Rembang), Perpustakaan STAIN
Kudus, 2012, Jurusan Syari’ah/EI
[21] Nurcholis
Madjid, Bilik-Bilik Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta : Paramadina,
1997, hal. Xii.
[22]Moh Roqib, Pendidikan Islam : Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah,
Keluarga dan Masyarakat, PT LKis Printing Cemerlang: Yogyakarta, 2009, hal. 149.
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian yang penulis lakukan
adalah penelitian kualitatif. Penelitian yang mengambil data dari kunjungan lapangan yang berupa
hasil wawancara dengan para narasumber terkait bukanlah berupa hasil analisis
data yang berupa angka-angka. Penelitian yang dilakukan akan berusaha membahas
tentang peran kyai dalam menumbuhkan sikap mandiri pada santri di Pondok
Pesantren al-Mawaddah Honggosoco Jekulo Kudus. Adapaun metode yang penulis
pakai yaitu :[1]
A.
Jenis dan Pendekatan Penelitian
Untuk
mengetahui peran kyai dalam menumbuhkan sikap mandiri pada santri di Pondok Pesantren al-Mawaddah
Honggosoco Jekulo Kudus,
harus ditemukan sesuai dengan butir-butir rumusan masalah dan tujuan
penelitian, maka penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan
menggunakan jenis penelitian lapangan (field research), yaitu metode
yang mempelajari fenomena dalam lingkungannya yang alamiah.[2] Oleh
karena itu, objek penelitiannya adalah objek di lapangan yang sekiranya mampu
memberikan informasi tentang kajian penelitian. Maka, peneliti terjun secara
langsung ke Pondok
Pesantren al-Mawaddah Honggosoco Jekulo Kudus.
Secara
umum penelitian kualitatif adalah suatu proses penelitian yang dilakukan dengan
mendiskripsikan apa yang ada di dalam lapangan dengan instrument utama peneliti
itu sendiri[3].
Jadi Tujuan penelitian lapangan adalah untuk mempelajari secara intensif
tentang latar belakang keadaan sekarang, dan interaksi lingkungan sesuatu unit
sosial, individu kelompok, lembaga atau masyarakat. Sedangkan jika ditinjau
dari tujuan penelitian, jenis penelitian ini adalah penelitian dasar, yaitu
dengan pencarian terhadap sesuatu karena ada perhatian dan keingintahuan
terhadap hasil suatu aktifitas. Perhatian utama dalam penelitian ini adalah
kesinambungan dan integrasi dari ilmu dan filosofi.[4].
Dalam penelitian kualitatif ini akan mengungkapkan dan memahami peran kyai dalam menumbuhkan sikap
mandiri pada santri di Pondok Pesantren al-Mawaddah Honggosoco Jekulo Kudus.
B. Sumber
Data
Sumber data yang dipakai oleh penulis adalah suber sumber
primer dan sekunder. Sumber primer adalah sumber data yang langsung memberikan
data kepada pengumpul data, misalnya melalui wawancara langsung dengan kiyai,
pengurus, atau santri. Sedangkan sumber sekunder merupakan sumber yang tidak
langsung memberikan data kepada pengumpul data misalnya lewat orang lain atau
lewat dokumen.[5]
Dalam usaha memperoleh data dari sumbernya, nantinya penulis
akan melakukan :
a. Wawancara dengan
pengasuh, pengurus, ustadz, santri serta alumni dari Ponpes al-Mawaddaah Jekulo
Kudus.
b. Observasi
langsung dengan menggunakan jenis observasi partisipatif Dokumentasi terhadap
file-file yang dimiliki oleh Ponpes al-Mawaddaah Jekulo Kudus guna menambah
informasi dan data yang lebih valid.
C. Lokasi Penelitian
Penulis
dalam kesempatan ini mengambil lokasi penelitian di Pondok Pesantren al-Mawaddah Honggosoco Jekulo
Kudus karena letaknya
yang mudah dijangkau, strategis dan juga di situ terdapat masalah yang penulis
bahas yaitu tentang : Peran kyai dalam menumbuhkan sikap mandiri pada santri di Pondok Pesantren al-Mawaddah
Honggosoco Jekulo Kudus.
Penelitian dilaksanakan mulai pada tanggal 4 Februari sampai 3 Mei 2014.
Dan jika dalam rentan waktu tersebut belum mencukupi maka peneliti akan meminta
perpanjangan guna melengkapi data penelitian yang belum terselesaikan.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik
pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam penelitian, karena
tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa mengetahui
teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi
standar data yang ditetapkan.[6]
Adapun teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan adalah sebagai
berikut:
1. Observasi
Dalam hal ini peneliti menggunakan observasi
partisipasi pasif (Passive Participation). Partisipasi pasif artinya
peneliti datang di tempat kegiatan orang yang diamati, tetapi tidak ikut
terlibat dalam kegiatan tersebut.[7]
Peneliti melakukan pengamatan terhadap berlangsungnya kegiatan pembelajaran
yang terkonsep dalam kurikulum dengan tanpa mempengaruhi kegiatan pembelajaran yang sedang
berlangsung sehingga kegiatan pembelajaran tetap berjalan secara alami dan apa
adanya.
2. Wawancara
Wawancara adalah sebuah dialog yang dilakukan
oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara.[8] Dengan kata lain, bahwa interview/wawancara
yang dimaksudkan untuk merekam data-data tertulis yang berfungsi sebagai data
sangat penting untuk bahan analisis. Wawancara ini dilakukan terhadap narasumber/informan yang bersangkutan
dengan penelitian. Metode ini peneliti gunakan untuk menambah, memperkuat dan
melengkapi data hasil observasi. Wawancara semi terstruktur
digunakan untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, dimana pihak yang
diajak wawancara diminta pendapat dan ide-idenya.[9]
Untuk memperoleh tambahan informasi mengenai peran kyai dalam menumbuhkan sikap mandiri pada santri di Pondok Pesantren al-Mawaddah
Honggosoco Jekulo Kudus, peneliti melakukan wawancara dengan kiai,
pengurus pondok pesantren dan peserta didik (santri) adalah orang yang terlibat
langsung dalam sistem tersebut.
3. Dokumentasi
Dokumen
merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar,
atau karya-karya monumental dari seseorang. Hasil penelitian dari observasi
atau wawancara, akan lebih kredibel kalau didukung oleh sejarah pribadi di masa
kecil, di sekolah, di masyarakat, autobiografi, dan foto-foto atau karya tulis
akademik dan seni yang telah ada.[10]
Metode dokumentasi
ini digunakan untuk mendapatkan data tentang bentuk pelatihan kemandririan pada santri di Pondok Pesantren al-Mawaddah Honggosoco Jekulo Kudus.
Metode dokumentasi dapat dilakukan dengan mengambil data dari hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar,
majalah, internet, dan sebagainya.[11]
Metode dokumentasi dipakai peneliti dalam
mengumpulkan data mengenai kondisi umum wilayah penelitian, struktur kepengurusan
dan tujuan pondok pesantren. Data tersebut berasal dari arsip Pondok Pesantren al-Mawaddah Honggosoco Jekulo Kudus.
Sedangkan untuk mendokumentasikan peneliti menggunakan alat bantu arsip buku
dan kamera.
Metode
observasi, wawancara, dan dokumentasi peneliti gunakan dengan memadukan
ketiganya untuk memperoleh data dari berbagai sudut pandang. Untuk mengetahui peran kyai dalam menumbuhkan sikap mandiri pada santri di Pondok Pesantren al-Mawaddah
Honggosoco Jekulo Kudus, peneliti melakukan observasi terhadap kegiatan
santri, melakukan wawancara dengan pengurus pondok pesantren, santri baik yang
masih aktif di pondok maupun alumni serta didukung dokumentasi foto yang berada
di pondok pesantren.
E. Uji Keabsahan Data
Dalam pengujian/pemeriksaan sahnya data, metode
penelitian kualitatif memiliki beberapa istilah antara lain :
1. Uji
Credibility ( Validitas internal )
Dalam uji credibility data atau kepercayaan
terhadap data terdapat bermacam-macam pengujiannya antara lain dilakukan dengan
perpanjangan, pergantian, peningkatan, ketelitian dalam penelitian, tringulasi,
diskusi dengan teman sejawat, analisis kasus negative dan member
check.[12]
Dalam penelitian ini, pengujian kredibilitas data
dilakukan melalui:
a. Perpanjangan
pengamatan
Pada tahap awal peneliti memasuki lapangan, peneliti
masih dianggap
orang asing, masih dicurigai, dan mungkin masih banyak yang dirahasiakan.
Dengan perpanjangan pengamatan ini, peneliti mengecek kembali apakah data yang
telah diberikan selama ini merupakan data yang sudah benar atau tidak. Bila
data yang diperoleh selama ini setelah dicek kembali pada sumber data asli atau
sumber data lain ternyata tidak benar, maka peneliti melakukan pengamatan lagi
yang lebih luas dan mendalam sehingga diperoleh data yang pasti kebenarannya.
b. Meningkatkan
Ketekunan
Meningkatkan ketekunan berarti melakukan pengamatan secara lebih
cermat dan berkesinambungan. Dengan cara tersebut, maka kepastian
data dan urutan peristiwa akan dapat direkam secara pasti dan
sistematis.
Pengujian kredibilitas dengan meningkatkan ketekunan ini dilakukan
dengan cara peneliti
membaca seluruh catatan hasil penelitian secara cermat, sehingga dapat diketahui kesalahan dan kekurangannya. Demikian juga dengan meningkatkan ketekunan, maka peneliti dapat
memberikan deskripsi data yang akurat dan sistematis tentang apa yang diamati.
Sebagai bekal
peneliti untuk meningkatkan ketekunan adalah dengan cara membaca berbagai referensi buku maupun hasil penelitian atau dokumentasi
yang terkait dengan temuan yang diteliti. Dengan membaca ini, maka wawasan
peneliti akan semakin luas dan tajam, sehingga dapat digunakan untuk memeriksa data yang ditemukan itu
dipercaya atau tidak.[13]
c. Member Check
Member check adalah
proses pengecekan data yang diperoleh peneliti kepada pemberi data. Tujuan member check
adalah untuk mengetahui seberapa jauh data yang diperoleh sesuai dengan apa
yang diberikan oleh pemberi data.[14]
d. Menggunakan
Bahan Referensi
Yang dimaksud dengan bahan referensi adalah adanya
pendukung untuk
membuktikan data yang telah ditemukan oleh peneliti.[15]
Untuk menguatkan penelitian, peneliti memperkuat hasil penelitian dengan gambar
foto-foto yang diambil peneliti selama proses penelitian.
2. Uji Transferability
( Validitas Eksternal )
Transferability ini merupakan
validitas eksternal dalam penelitian kualitatif. Validitas eksternal
menunjukkan derajat ketepatan atau dapat diterapkannya hasil penelitian
kepopulasi dimana sampel tersebut diambil.
Oleh karena itu supaya oranglain dapat memahami
hasil penelitian kualitatif sehingga ada kemungkinan untuk menerapkan hasil
penelitian tersebut maka penelitian dalam membuat laporannya harus memberikan
uraian yang rinci, jelas, sistuntis dan dapat dipercaya. Dengan demikian
pembaca menjadi jelas atas hasil penelitian tersebut, sehingga dapat memutuskan
dapat atau tidaknya untuk mengaplikasikan hasil penelitian tersebut ditempat
lain.
3. Uji
Debendability ( Reabilitas )
Dalam penelitian kualitatif, uji debendability dilakukan
dengan melakukan audit terhadap keseluruhan proses penelitian.[16]
caranya dilakukan oleh auditor yang independent atau pembimbing untuk mengaudit
keseluruhan aktifitas peneliti dalam melakukan penelitian.
4. Uji Confirmability
( Obyektivitas )
Uji Confirmability mirip dengan uji debendability
sebagai pengujiannya dapat dilakukan secara bersama. Menguji confirmability
berarti menguji hasil penelitian, dikaitkan dengan proses yang dilakukan. Bila
hasil penelitian merupakan fungsi dalam proses penelitian yang dilakukan, maka
penelitian tersebut telah memenuhi standar confirmability.[17]
F. Tehnik Analisis Data
Teknik
analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data
kualitatif. Analisis data kualitatif adalah bersifat induktif, yaitu suatu
analisis berdasarkan data yang diperoleh selanjutnya dikembangkan pola hubungan
tertentu atau menjadi hipotesis.[18]
Mengikuti konsep yang diberikan Milles dan Huberman. Miles dan Hubermen
mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara
interaktif dan berlangsung secara terus-menerus pada setiap tahapan penelitian
sehingga tuntas dan datanya sampai jenuh. Aktivitas dalam analisis data ini
meliputi:
a. Data
reduction (reduksi data)
Dalam
melakukan penelitian dapat berkembang permasalahannya dan data yang diperoleh
dari lapangan cukup banyak jumlahnya. Untuk itu perlu segera dilakukan analisis
data melalui reduksi data. Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok,
memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya dan membuang
yang tidak perlu.[19]
Mereduksi
data berarti merangkum data, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada
hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya dan membuang data yang tidak
perlu. Dengan demikian, akan memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai data
yang benar-benar diperlukan dan mempermudah penulis dalam melakukan pengumpulan
data selanjutnya.
Dalam
hal ini penulis merangkum hal-hal yang akan diteliti yaitu mengenai peran kyai dalam menumbuhkan sikap mandiri pada
santri di Pondok
Pesantren al-Mawaddah Honggosoco Jekulo Kudus, sehingga ketika masuk di lapangan peneliti akan
mudah dalam melakukan penelitian karena sudah mempunyai bahan yang akan
diteliti.
b. Penyajian
Data (Data Display)
Setelah
melakukan reduksi data, langkah selanjutnya adalah mendisplaykan data. Dalam
penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat,
bagan, hubungan antar kategori. Dalam hal ini Miles dan Hubberman menyatakan
yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif
adalah dengan teks yang bersifat naratif.[20]
Data
yang peneliti dapatkan kemudian disajikan dalam penjelasan naratif serta
menganalisisnya dengan cara menceritakan temuan serta hubungannya dengan teori
yang peneliti sajikan dalam bab II. Jadi, Setelah data dirangkum maka langkah
selanjutnya yakni mengorganisasikan data agar tersusun dalam pola hubungan,
sehingga akan semakin mudah dipahami.
c. Menarik
kesimpulan atau verifikasi (Conclution drawing/ verification)
Langah ketiga
dalam analisis data ini adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang
dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah jika tidak ditemukan
bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya.
Tetapi apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal didukung dengan
bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan
mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang
kredibel.[21]
Kesimpulan
dalam penelitian kualitatif diharapkan merupakan temuan baru yang sebelumnya
belum pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu obyek yang
sebelumnya masih belum jelas sehingga setelah diteliti menjadi jelas, dapat
berupa hubungan kausal atau interaktif, hipotesis atau teori.[22]
[1] Sumardi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo
Persada: Jakarta, 1995, hal. 59.
[2] Dedy Mulyana, Metologi
Penelitian Kualitatif (Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya),
Remaja Rosdakarya:Bandung, 2004, hal. 160.
[3] Mukhamad Saekan, Metodologi
Penelitian Kualitatif, Nora Media Enterprise:Kudus, 2010, hal. 9.
[4] Moh. Nazir, Metode
Penelitian, Ghntalia Indonesia:Jakarta, Cet. keempat, 1999, hal. 30.
[5]
Sugiyono, Metode
Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D,
Alfabeta:
Bandung, 2012, hal. 193.
[8] Suharsimi Arikunto, Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, PT.
Rineka Cipta:Jakarta, 1993, hal. 191.
[12] Ibid., hal. 368.
[13] Sugiyono, Op.Cit., hal. 370.
[14] Ibid., hal. 375.
[15] Ibid., hal. 375.
[16] Ibid., hal.376-377.
[17] Ibid., hal.378.
[19] Ibid., hal. 338.
[20] Ibid., hal. 341.
[22] Ibid., hal. 345.
[1]Faisal Jalal,
Didi Supriadi, Reformasi Pendidikan dalam Konsteks Otonomi Daerah, Adi
Cita, Karya Nusa Yogyakarta, 2001.hal.20
[2] Dewa ketut
sukardi, pelaksanaan bimbingan dan konseling di sekolah. rineka cipta. Jakarta.
2006. hal.28
[3]
J.L.G.M. Drost
S, J. Sekolah : Mengajar atau Mendidik?, Konislun: Jakarta, 1998, hal. 39.
[4] Ahmad
Mutohar, AR. Idiologi Pendidikan
Pesantren: Pesantren di Tengah Arus Idiologi-Idiologi Pendidikan, Pustaka
Rizki Putra: Semarang, Cet Pertama. 2007, hal. 11.
[5]
Syamsul
Ma’arif, Pesantren Vs Kapitalisme Sekolah, Need’s Press: Semarang, 2008,
hal. 62-63.
assalamualaikum pak boleh minta file tentang tesis di atas yg lengkap untuk penguatan data d skripsi saya makasih
ReplyDeleteBOLEH MINTAA CONTOH DATA2 WAWANCARA
ReplyDelete